"kawasan wajib belajar,"
saya bukan orang pintar, karena orang pintar dulunya bodoh, saya adalah orang bodoh yang ingin belajar.

Kenapa Kita Bermadzhab???

5:01 PM
بسم الله الرحمن الرحيم


ini adalah tulisan teman sekelas saya dulu waktu masih kelas satu, ada banyak cerita tentang tulisan ini yang mungkin akan saya jelaskan dalam postingann berikutnya...InsyaAllah..

Kenapa kita bermadzhab? (Tanya Kenapa??)

Ehm, Sepertinya pertanyaan itu harus dirubah, “KENAPA KITA HARUS BELAJAR?”

Pernah ada orang yang berkata kepadaku, Madzhab Fikih yang ada sekarang sudah tidak asli lagi, madzhab yang ada tidak layak lagi disebut dengan madzhab Syafi`i karena telah mendapat perubahan-perubahan di dalamnya oleh para pengikut Imam Syafi`i, maka lebih tepatnya jika disebut dengan Madzhab Syafi`iyah, atau madzhab para pengikut Imam Syafi`i.



Lalu ia menambahkan, kenapa kita tidak langsung belajar fikih dari kitab Al-Umm miliknya Imam Syafi`i jika memang kita madzhab Syafi`i? itupun kita telah memalingkan pandangan kita dari Al-Qur'an dan Hadis, padahal kita diperintahkan untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis, merujuk kepada keduanya dalam segala segi kehidupan, dan bukan kepada kitab fikih yang notabene adalah karangan para ulama! Al-Qur'an dan Hadis tidak akan salah, namun ulama pasti akan salah!

Percakapan itu terjadi sekitar satu tahun yang lalu, ketika aku ikut ujian masuk di UIN Bandung sekian bulan sebelum akhirnya aku berangkat ke Mesir. Dia juga calon mahasiswa sama sepertiku ketika itu. Dia berasal dari salah satu daerah di Jawa Barat. Katanya dia mau ngambil jurusan Pendidikan Fisika, karena memang dia lulusan STM.

Aku bertanya-tanya dalam diriku, bagaimana orang lulusan STM mengajariku seolah-olah dia yang benar, padahal ketika itu aku juga baru lulus dari pesantren, setidaknya 8 tahun aku berputar-putar belajar di pesantren dan tidak pernah ada guruku yang bilang seperti itu. Akhirnya aku bertanya, “Antum belajar di mana? Berguru sama siapa?” dia menjawab, “Ana hanya baca-baca dari buku, sama ikut ‘dauroh’ yang kadang-kadang diadakan” Jreng!

Bukannya aku merasa lebih banyak ilmunya dari dia, tidak! Hanya saja, selama delapan tahun aku belajar fikih, membaca buku hingga sempat mengajar sebentar, tak pernah ada perkataan seperti itu. Aneh, dan yang mengucapkan adalah orang yang sekolahnya bukan di tempat ‘pengkhususan’ agama sepertiku! Dan sayangnya, ketika itu aku belum memiliki jawaban, karena pertanyaan itu baru saya dengar, maka aku hanya mengiyakan semua yang ia katakan, karena perkenalan pertama kali lebih baik berjalan lancar dari pada saling berdebat. Akhirnya pertanyaan itu menjadi bekalku ke negeri ini, yang membuat aku belajar, mencari dan membaca. Setidaknya, inilah jawabanku. (Semoga kau tidak bosan membaca hingga akhir ^_^)

Kawan, Jika kau mendapatkan orang bertanya seperti ini, katakanlah “Kau melihat madzhab hanya dari kulit luarnya saja! 4 madzhab yang memang sekilas terlihat banyak memiliki perbedaan, tapi kau tidak mempelajari bagaimana permulaannya hingga seperti saat ini.” Madzhab bukanlah aliran yang berbeda-beda dan saling menyesatkan, madzhab bukan partai, ataupun pemecah belah umat muslim. Madzhab adalah tempat belajar, sarana, sandaran, dan jembatan dalam memahami Syari`at.

Perlu diketahui, bahwa perbedaan pendapat dan pemahaman adalah sebuah keniscayaan, karena kemampuan bahasa, hafalan, pergaulan dan budaya antara satu kepala dan lainnya juga berperan. Dalam sebuah riwayat, diceritakan ketika dalam sebuah peperangan Rasulullah berkata kepada para sahabat “Jangan ada yang shalat ashar kecuali jika kalian sampai di Bani Quraidzah!”. Ternyata, sebagian sahabat ada yang tetap melaksanakan shalat ashar di perjalanan, karena jika harus sampai ke tempat tujuan maka waktu ashar pasti sudah habis. Dan sebagian sahabat yang lain tetap meneruskan perjalanan dan baru shalat di tempat tujuan meski waktu sudah habis.

Mereka semua adalah para sahabat, pemahaman mereka juga berbeda. Golongan pertama memahami bahwa perkataan Rasulullah tadi adalah perkataan Rasulullah dengan kedudukannya seorang pemimpin perang agar pasukan bergegas pergi ke tempat tujuan, dan bukan perkataan Rasulullah dalam kedudukannya ketika menyampaikan wahyu. Lalu golongan kedua tetap berjalan dan shalat ashar di tempat tujuan, mereka memahami bahwa apapun yang Rasulullah katakan haruslah diikuti, meski beliau memerintahkan untuk mengakhirkan shalat ashar hingga sampai di tempat tujuan. Saat itulah, menurut para ulama lahir dua kelompok besar yang akan berkembang pada zaman setelahnya, Ahlu Ra`yi dan Ahlu Hadis.

Masa Sahabat.

Setelah Rasulullah wafat hingga zaman Umar bin Khathab sebagian besar para sahabat masih menetap di Madinah, karena Umar bin Khathab ketika itu melarang mereka keluar Madinah. Tujuan beliau tidak lain adalah agar ketika dibutuhkan, para sahabat bisa berkumpul untuk memecahkan suatu masalah yang belum terpecahkan oleh khalifah, itulah yang kita kenal belakangan dengan nama Ijma`.

Selama masa kekhalifahan Umar bin Khathab, daerah yang dikuasai oleh pasukan muslim semakin bertambah luas, membentang dari Mesir ke Persia, Hijaz dan hampir seluruh Jazirah Arab hingga ke Yaman. Maka, daerah-daerah yang ditaklukan itu membutuhkan guru untuk menyebarkan dan mengajarkan Islam di sana. Akhirnya semakin lama, para sahabatpun menyebar hingga ke daerah-daerah untuk mengajarkan apa yang telah mereka dapatkan dari Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam.

Beberapa sahabat yang masih menetap di Madinah di antaranya adalah Sayyidah `Aisyah, dan Abdullah bin Umar. Lalu yang tersebar di daerah adalah Abdullah bin Abbas di Makkah, Abu Musa Al-Asy`ari dan Anas bin Malik di Bashrah, Abdullah bin Mas`ud di Kufah, Abdullah bin Amru bin Ash dan Abu Dzar Al-Ghifari di Mesir, dan masih banyak yang lainnya, mereka tersebar di berbagai pelosok daerah.

Masa Tabi`in

Semakin lama, para sahabat yang menyebar tadi memiliki banyak murid dan pengikut, maka saat itulah terkenal istilah dua aliran besar dalam masalah fikih.

Para Ahlu Ra`yi, mereka lebih menggunakan akal dalam pemahaman tekstual, mereka bertempat di Kufah maka bisa dibilang jika sumber hadis mereka sedikit karena letaknya jauh dari Madinah. Sanad belajar mereka mengerucut kepada Abdullah bin Mas`ud sebagai guru besar penduduk Kufah. Lalu Ahlu Hadis, bertempat di Madinah. Sumber hadis yang lebih banyak daripada Kufah menjadikan mereka lebih memerhatikan hadis yang diriwayatkan oleh generasi sebelumnya, mereka lebih memahami hadis sebagaimana diriwayatkan, lebih condong kepada tekstual hadis.

Ahlu Ra`yi di Kufah ada bukan untuk menyaingi kelompok Ahlu Hadis di Madinah, keduanya sama-sama mempelajari syari`at dari Rasulullah, hanya saja dengan jalur yang berbeda. Kufah adalah pusat kehidupan Islam ketika masanya, maka banyak orang baru yang berdatangan ke sana dan juga banyak hal-hal baru yang belum pernah ditemukan pada masa sebelumnya. Meski mereka tidak memiliki sumber hadis sebanyak Madinah, namun mereka tetap giat mempelajari dan berijtihad.

Pada tahun 80 Hijriyah, lahirlah Abu Hanifah di Kufah. Setelah menghafal Al-Qur'an sejak kecil, beliau belajar berbagai macam ilmu kepada berbagai ulama yang ada di sana. Salah satu gurunya adalah Hamad bin Abi Sulaiman, yang belajar dari Ibrahim An-Nakha`i, lalu Ibrahim An-Nakha`i belajar dari Ilqimah An-Nakha`i, dan Ilqimah belajar dari Ibnu Mas`ud. Beliau dikenal mempelajari empat aliran fikih, yaitu fiqh Umar bin Khatab yang berlandaskan maslahat, lalu fiqh Ali bin Abi Thalib yang berlandaskan pengambilan kesimpulan dari makna diturunkannya syari`at, lalu fiqh Abdullah bin Mas`ud yang berlandaskan Takhrij, dan fiqh Abdullah bin Abbas yang memiliki pemahaman yang dalam terhadap Al-Qur’an dan Hadits.

Beliau menjadi salah seorang pembesar Aliran Ahlu Ra`yi, beliau banyak memiliki murid yang menngambil ilmu darinya lalu mengajarkan kepada generasi selanjutnya. Di antaranya adalah Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Beliau wafat tahun 150 H.
Pada tahun 93 H, lahirlah Malik bin Anas di Madinah. Beliau belajar kepada para tabi`in yang menetap di Madinah, di antara gurunya adalah Rabi`ah bin Abdirrahman, Syihab Az-Zuhry, dan Nafi`, silsilah keilmuannya sampai kepada beberapa sahabat, di antaranya adalah Aisyah dan Ibnu Umar. Imam Malik sangat giat mempelajari ilmu, ia pernah berkata bahwa ia tidak akan mengeluarkan fatwa sebelum fatwanya diakui oleh 70 orang ulama pada masanya. Ia mengajarkan ilmunya di majlis Umar bin Khathab, dan tinggal di rumah bekas Abdullah bin Mas`ud.

Beliaulah pembesar Aliran Ahlu Hadis. Ribuan orang datang ke Madinah untuk belajar kepada beliau, hingga tak heran jika beliau memiliki banyak sekali murid. Beliau selalu menetap di Madinah, dan tidak pernah keluar dari Madinah kecuali ketika Haji ke Makkah. Beliau wafat tahun 179 H. Meninggalkan banyak hasil karya, di antaranya adalah kitab Al-Muwattha, kitab hadis yang masih dijadikan rujukan hingga sekarang. Beliau juga meninggalkan banyak sekali murid, di antaranya adalah Imam Syafi`i.

Imam Syafi`i lahir pada tahun 150 H, bersamaan dengan tahun wafatnya Abu Hanifah. Beliau lahir di Gaza, Palestina, lalu dibawa oleh ibunya ke Makkah agar tidak kehilangan nasab dari leluhurnya. Beliau masih termasuk keluarga Quraisy, keluarga besar Rasulullah, nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdu Manaf. Beliau menghafal Al-Qur'an dalam umur yang sangat muda, lalu belajar kepada beberapa ulama di Makkah. Beliau telah menghafal seluruh isi kitab Al-Muwattha karya Imam Malik, lalu beliau belajar kepadanya. Imam Malik pun takjub kepada beliau, meski umurnya masih sangat muda tapi beliau memiliki kemampuan yang luar biasa.

Beliau diketahui melakukan beberapa kali perjalanan, beliau belajar kepada Muhammad bin Hasan, murid langsung Abu Hanifah di Kufah. Maka, beliau menyatukan aliran fikih antara Ahlu Ra`yi dan Ahlu Hadis. Beliau juga yang meletakkan batu pertama ilmu Ushul Fikih, tak heran jika beliau memiliki banyak sekali murid, salah satunya adalah Ahmad bin Hanbal. Setelah Imam Malik wafat, beliau mengajar di Madinah selama sembilan tahun, lalu beliau berpindah ke Baghdad dan mengajar di sana, dan lima tahun sebelum wafat beliau pergi ke Mesir untuk mengajar di sana hingga wafat menjemput. Salah satu karya beliau yang digunakan hingga kini adalah kitab Ar-Risalah dalam Ushul Fikih dan Al-Umm dalam Fikih. Wafat tahun 204 H, dimakamkan di Kairo.

Lalu Ahmad bin Hanbal, lahir tahun 164 H di Bagdad. Bagdad ketika itu adalah pusatnya peradaban Islam, maka beliau belajar berbagai macam ilmu kepada para ulama di sana. Beliau juga dikenal sering bepergian untuk mencari ilmu, beliau pergi ke Bashrah, Yaman, Kufah, Makkah, Madinah dan lainnya. Beliau belajar kepada Imam Syafi`i ketika di Baghdad, maka beliau juga mewarisi tradisi ilmu Ahlu Ra`yi dan Ahlu Hadis.

Beliau sangat berpegang kepada riwayat hadis, bahkan bisa dibilang sedikit condong kepada tekstual hadis. Beliau pun memiliki kitab kumpulan hadis yang kita kenal dengan Musnad Imam Ahmad yang ditulis dan diriwayatkan oleh putranya. Beliau juga memiliki banyak sekali murid, di antaranya adalah kedua putranya sendiri Shalih dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Beliau wafat tahun 241 H.

Kembali kepada pertanyaan tadi, Kenapa kita harus Bermadzhab (baca: Belajar)?

Ya, Bermadzhab tak lain adalah belajar. Ketika kita belajar kepada guru A, tanpa disadari kita telah bermadzhab kepada beliau. Maka, jika ada orang yang bilang tidak bermadzhab tapi dia masih belajar kepada seorang guru, maka katakan bahwa ia tidak membuka matanya! Kita tadi melihat bahwa Imam Abu Hanifah tidak membuat madzhab agar umat Islam terpecah, beliau tidak lain adalah menyampaikan Syari`at yang diturunkan kepada Rasulullah, lalu Ibnu Mas`ud lalu kepada beliau. Imam Syafi`i tidak membangun sebuah madzhab baru untuk ‘menandingi’ Imam Malik atau Imam Abu Hanifah, beliau tidak lain adalah menyampaikan ilmu yang beliau dapatkan dari semua gurunya dan berujung kepada Rasulullah. Maka, apa bedanya beliau-beliau ini dengan seorang guru yang mengajarkan ilmunya di masjid-masjid?

Sebenarnya madzhab tidak hanya empat, bahkan bisa jadi tidak terhitung, karena hasil ijtihad setiap orang bisa saja berbeda. Ada Imam Laits bin Sa`ad, Ibnu Hazm, Imam Auza`i, dan masih banyak ulama lainnya yang telah mampu berijtihad sendiri, hanya saja, mereka tidak memiliki murid sebanyak empat imam tadi, para murid yang kembali mengajarkan ilmunya dan masih menisbatkan dirinya kepada imamnya. Karena itulah, meski tidak secara formal, seluruh umat muslim di Dunia sepakat bahwa keempat imam ini boleh diikuti tanpa memandang bahwa yang satu lebih baik dari yang lain.

Ada orang yang berdalil dengan surat Al-Mu`minun ayat 52-54. Dan sungguh umatmu ini adalah umat yang satu dan Aku adalah tuhanmu, maka bertakwalah kepadaku!. Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan mereka menjadi beberapa golongan, setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. Maka, biarlah mereka dalam kesesatan mereka sampai waktu yang ditentukan!.

Mereka berkata bahwa ‘Umat Islam itu satu! Tidak terpecah ke dalam madzhab-madzhab yang saling bertentangan, itulah Islam yang hakiki tanpa campur tangan manusia yang merubah syari`at sekehendak mereka!’

Katakanlah apa yang aku tulis di atas tadi, Madzhab adalah tempat belajar, bukan pemecah belah. Sebagaimana Kementrian Agama menaungi berbagai macam pesantren atau Departemen Pendidikan menaungi berbagai macam sekolah. Apakah sekolah-sekolah itu ada untuk memecah belah? Jika memang para murid sekolah itu saling tawuran, siapa yang salah? apakah yang salah adalah ‘pendirian sekolah’ itu? Atau oknumnya? Apakah gurunya mengajarkan tawuran? (Jawab!^^)

Lalu, mereka berkata bahwa ‘Yang harus kita ikuti adalah Al-Qur'an dan Hadis, bukan perkataan ulama! Kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis itu lebih selamat, tidak ada campur tangan akal manusia dan ulama-ulama jahat (suu’)!’

Katakanlah, para ulama adalah jembatan kita dalam memahami Al-Qur'an dan Hadis, mereka adalah pewaris Rasulullah dan bukan penghalang antara kita dengan beliau. Belajar membaca Al-Qur'an saja kita membutuhkan guru, apalagi untuk memahami isinya. Kembali kepada keduanya tanpa melalui ulama bahkan bisa lebih berbahaya lagi karena hanya menggunakan pemahaman sendiri tanpa ada bimbingan dari guru!

Sekarang aku bahas sedikit tentang silsilah buku yang dipakai di ‘Sekolahan’ Syafi`i. kita sedikit tahu dari mana Imam Syafi`i belajar. Lalu, setelah itu beliau berijtihad, lalu menuangkan ijtihadnya dalam kitab Al-Umm. Murid beliau, Al-Muzani berijtihad dengan hasil bimbingan dari gurunya, lalu menuliskan ijtihadnya dalam kitab Mukhtashar Al-Muzani, begitu juga Al-Buwaithi. Lalu, Kitab Mukhtashar Al-Mizani saja setidaknya memiliki 7 ringkasan yang dibuat oleh para ulama generasi setelahnya. Mereka berijtihad menjelaskan isi kitab itu, mengoreksi dan memilih antara yang lebih penting, menambahkan kekurangan, mereka tidak merubah isi kitab lalu tetap menggunakan nama Al-Muzani sebagai penulis, mereka membuat kitab baru dengan nama mereka, jika mereka berbeda pendapat dengan Al-Muzani, mereka akan tulis keterangan di dalamnya.

Lalu dari ketujuh Mukhtasar kitab Al-Muzani tadi, masih dijelaskan kembali oleh ulama lain, menambahkan kekurangan dan menuliskan hasil ijtihadnya. Lalu kitab mereka kembali dijelaskan oleh ulama generasi setelahnya, dan seperti itulah karya ulama kita. Maka jika kita belajar, kita akan tahu ada kitab Matan, lalu Syarah, lalu Hasyiyah, lalu Mukhtashar. Matan adalah kitab pertama, lalu Syarah adalah penjelasan dari Matan, dan Hasyiyah adalah penjelasan dari Syarah, lalu Mukhtashar adalah Ringkasan dari kitab sebelumnya. Terkadang, ada kitab Mukhtashar yang kembali disyarah, lalu syarahnya dijelaskan lagi dalam hasyiyah. Ada beberapa kitab yang bisa kita rujuk untuk mempelajari tentang madzhab Syafi`i, di antaranya adalah Al-Fawa’id Al-Makkiyah fi ma yahtajuhu thalabah Asy-Syafi`iyah. Karangan Syaikh Ahmad bin Alawi bin Abdirrahman As-Saqqaf. Dar Al-Faruq lil Istitsmarat Ats-Tsaqafiyah. Atau Al-Madkhal ila Dirasah Al-Madzahib Al-Fiqhiyah. Dr. Ali Jum`ah. Percetakan Darussalam Cairo.

Kenapa kitab itu diringkas, lalu kitab dan ringkasan itu kembali dijelaskan, lalu penjelasannya juga masih saja dijelaskan kembali? (Tanya kenapa?) Karena ilmu semakin berkembang, dan bahasa juga berkembang. Butuh keahlian khusus untuk membaca kitab klasik, apalagi yang masih asli, dan terkadang masalah yang baru pasti akan terus bermunculan seiring berjalannya waktu, jika hanya berpatok kepada kitab Al-Umm saja tanpa menggunakan kitab ulama-ulama generasi setelahnya, maka kita hanya akan terpatok kepada berbagai masalah yang hanya ada di kitab itu, itupun jika kita memahami seluruhnya. Nah, Kitab fikih saja perlu penjelasan dari ulama generasi setelahnya, apalagi Al-Qur'an dan Hadis? Maka, jika ada orang berkata seperti itu lagi, katakanlah kembali, jika kau belum mengetahui hal-hal ini, maka lebih baik diam! Bacalah kembali!

Lalu, terkadang ada juga yang berkata “Para imam madzhab saja melarang muridnya untuk mengikutinya! Kenapa kau malah mengikuti mereka?” jawablah! Untuk apa seorang guru mengajarkan ilmunya lalu melarang muridnya untuk mengikuti apa yang ia sampaikan? Itu tidak lain karena para ulama sangat rendah hati, mereka memiliki ilmu yang luas namun karena mereka ‘merendah’ jadi seolah mengaku bahwa mereka tidak pantas diikuti, karena lebih banyak ulama lain yang lebih pantas untuk dijadikan guru (menurut beliau). Tidak seperti ‘sebagian’ umat sekarang yang baru memiliki sedikit ilmu, lalu berkata bahwa dialah yang memegang kebenaran, dialah yang harus diikuti daripada ulama-ulama jahat (Suu’) yang bermadzhab! Pendapat selain pendapatnya adalah salah, dan berkata “Jangan kembali kepada perkataan ulama, tapi kembalilah kepada Al-Qur'an dan Hadis!”

Imam Malik, ketika beliau tidak bisa menjawab pertanyaan, beliau tidak akan malu berkata “Tidak Tahu!” padahal beliau adalah seorang Mujtahid Mutlak! Aisyah Radhiyallahu `Anha pernah menolak orang yang bertanya kepadanya, lalu berkata bahwa yang lebih tahu dalam masalah ini adalah seorang sahabat yang lain. Beliau adalah istri Rasulullah, tapi beliau tidak sok tahu lalu menjawab, atau bahkan menyalahkan pendapat orang lain dan merasa benar sendiri. Para ulama memiliki akhlak, yang bahkan seakan itulah yang sekarang sudah lenyap. Sesungguhnya suatu kaum terlihat dari akhlaknya, dan jika akhlak itu lenyap, maka lenyaplah juga kaum itu.

Bahkan, ada yang lebih ekstrim lagi, orang yang berkata “Kalo kau mengikuti Imam Madzhab, berarti kau menyamakan kedudukan Imam Madzhab dengan Rasulullah! Kau mengedepankan perkataan mereka di atas perkataan Rasulullah! Awas! Bisa jadi syirik!”

Jawablah! Siapa yang menyamakan kedudukan mereka dengan Rasulullah? aku atau kau? Tidak ada orang yang belajar dari gurunya lalu menyamakan mereka dengan Rasulullah! Apakah para ulama itu ‘mengarang’ kitab fikih sebagaimana JK. Rowlings menulis novel? Hanya dengan imajinasi tanpa rujukan? Lihatlah kembali penuturan di atas, para ulama belajar, mempelajari ilmu, pergi kesana kemari mencari sumber ilmu, lalu setelah mampu dan memiliki kecakapan, maka beliau berijtihad dari apa yang mereka miliki. Kau mengajak untuk kembali ‘langsung’ kepada Al-Qur'an dan Sunnah, lalu apakah para ulama itu tidak merujuk kepada keduanya? Bahkan, siapa yang lebih memiliki kecakapan dalam hal ini, kau atau mereka?

Ada yang mengatakan, “Rasulullah mengajarkan tata cara ibadah kepada para Sahabat. Rasulullah itu satu, tapi kenapa sekarang tata cara ibadah antara madzhab satu dan lainnya berbeda?”

Jawablah! Satu kata bisa saja memiliki berbagai macam arti, Lima bisa berarti angka setelah empat atau ibukota Peru, itu bahasa Indonesia, apalagi bahasa Arab yang lebih kaya kosakatanya. Lalu, enam orang mendengarkan penjelasan guru, bisa saja kelimanya memiliki pemahaman yang berbeda, dan delapan orang menjadi saksi kecelakaan, bisa saja kesaksian mereka berbeda-beda. Itu baru hal kecil, apalagi jika hal itu disampaikan sejak ratusan tahun yang lalu. Kemampuan intelektual antara satu orang dan orang lain pasti berbeda, kecakapan, pendalaman pemahaman, pengalaman, pergaulan, hafalan, tempat tinggal dan berbagai macam faktor lainnya yang membuat setiap kepala manusia bisa memiliki pendapat sendiri. Apalagi para ulama..

Jika kau banyak membaca, kau akan menemukan bahwa Ibnu Abbas memiliki dua riwayat tentang membaca Basmalah dalam Al-fatihah ketika shalat, dikeraskan dan tidak dibaca. Begitu juga Anas bin Malik. 2 riwayat berbeda dari satu orang, dan keduanya tertulis dalam kitab hadis. Mana yang kita ikuti? Apakah ketika kita membaca basmalah, lalu kita menyalahi perintah Rasulullah? Jika memang riwayat yang ada seperti itu, lalu bagaimana? Pastinya kita harus meneliti dan membandingkan antara kedua riwayat yang ada!

Jika kita mendapatkan hal ini dalam hadis, kita harus belajar ilmu hadis riwayat dan diroyat sebelum bisa menilai hadis ini lebih shahih dari yang lain. Itulah ladangnya para ulama, kita hanya tinggal mengikuti hasil ijtihad mereka, mereka telah meninggalkan warisan dari Rasulullah kepada kita, masa kita tolak? Jika memang mengikuti ulama yang menyampaikan itu lebih mudah, kenapa mempersulit diri dengan mencari segalanya ‘sendiri’ dalam Al-Qur'an dan Hadis?

Ada lagi yang bilang “Tidak usah belajar fikih, cukup dengan belajar kitab-kitab hadis dan tafsir! Karena setiap ahli tafsir dan hadis pasti ahli dalam fikih, namun tidak setiap ahli fikih itu ahli dalam hadis dan tafsir”

Jawablah! Perkataanmu tidak sepenuhnya benar! Setiap ahli bergelut dalam bidangnya sendiri, kecuali beberapa orang yang memang telah diakui kemampuannya. Kitab tafsir atau hadis, hanya menjelaskan hadis atau ayat yang tertulis. Namun fikih, lebih kaya dari sekedar penjelasan tentang ayat dan hadis. Kitab fikih adalah hasil dari observasi seorang mujtahid yang mengumpulkan Ayat dan Hadis, memilihnya, mengklasifikasinya, lalu menuliskannya. Hadis dan Ayat Al-Qur'an tidak akan bertambah dengan berkembangnya zaman, namun perkara baru pasti saja muncul setiap saat dan perlu dicari hukumnya. Kloning, transplantasi organ tubuh, puasa di daerah kutub, shalat di pesawat terbang, Bayi Tabung, senjata biologi, penentuan bulan hijriyah menggunakan sains modern, dan berbagai macam permasalahan baru yang sama sekali tidak tertulis dalam Al-Qur'an dan Hadis. Kemana kita harus mencari kalau bukan di dalam kitab fikih? Atau hanya karena tidak ada dalilnya, lalu kita bilang semua hal itu Bid`ah, harus ditinggalkan?

Untuk menjadi seorang fakih, setidaknya ia harus menguasai ilmu ushul fikih. Ushul fikih, membahas tentang Dalil yang dipakai dalam ijtihad, kata perintah, kata larangan, kata umum, kata khusus, kata sinonim, kata homonim, dan berbagai masalah lainnya yang tidak ditemukan dalam kitab hadis atau tafsir. Sebagaimana seorang insinyur atau arsitek, meskipun ia menguasai rumus bangunan, tapi belum tentu ia bisa ngaduk semen, belum tentu ia bisa memasang kusen pintu, belum tentu ia bisa mengoperasikan buldozer, dan sebagainya.

Satu lagi, ada yang berkata bahwa “Tidak ada perintah untuk terus mengekor kepada satu madzhab. Madzhab bukan tujuan, namun kita seharusnya mengumpulkan berbagai macam pendapat dalam madzhab lalu meneliti kembali pendapat mana yang lebih dekat ke sunnah Rasulullah.”

Jawablah! Dalam membaca Al-Qur'an saja terdapat tujuh cara baca yang memang diriwayatkan dari Rasulullah secara Mutawatir, kita kenal dengan istilah Qira’ah Sab`ah. Lalu, yang selalu kita baca sekarang hanya cara baca dari Imam Hafs, dan kita seolah terbiasa dengan cara baca ini. Sekarang aku bertanya, adakah perintah agar kita selalu membaca Al-Qur'an dengan bacaan Hafs? Tidak ada! Jika memang tugas kita dalam fikih adalah mengumpulkan semua pendapat dari berbagai madzhab lalu mengoreksinya, kenapa itu tidak dipakai juga dalam bacaan Al-Qur'an? Kenapa tidak mempelajari ketujuh cara baca tadi, lalu memilih mana yang paling dekat dengan sunnah Rasulullah?

Ketujuh cara baca itu saling berlainan, dari cara baca hingga makna, dan semuanya memang diriwayatkan dari Rasulullah. Jika tidak mampu mempelajari ketujuh bacaan ini karena kurangnya kemampuan, kenapa dalam fikih tetap dipaksakan harus mempelajari seluruh pendapat yang ada? Biarlah para ulama yang berijtihad langsung dari Al-Qur'an dan Hadis lalu menuliskannya dalam kitab mereka, kita hanya tinggal mengikuti hasil ijtihad mereka dengan prasangka baik bahwa mereka berijtihad untuk memudahkan generasi setelahnya. Allah berfirman, maka bertanyalah kepada orang yang mengetahui (Ahlu Dzikr) jika kau tidak tahu.

Sebenarnya banyak jawaban yang ingin kutulis untuk teman baruku tadi, namun jika terlalu banyak mungkin kau juga akan bosan membacanya. Aku ingat perkataan Lukman Sardi yang berperan sebagai KH. Ahmad Dahlan dalam film Sang Pencerah. “Kita belajar untuk jadi yang terbaik di hadapan Allah, tidak untuk diri kita sendiri tapi untuk kepentingan orang banyak”. Jika sekarang kita bertanya, suatu saat kita pasti akan ditanya.

Aku bukanlah orang yang lebih pintar darimu, bahkan mungkin ilmumu jauh di atasku. Seperti yang kutulis di atas, ini adalah jawaban yang kudapat atas apa yang temanku katakan kepadaku. Pertanyaan yang terus berdengung di kepala akhirnya terjawab juga. Maaf jika mungkin tulisanku terlalu kasar atau tidak enak dibaca. Kebenaran hanyalah dari Allah, dan kesalahan dalam tulisanku ini murni dari diriku. Jika kau meragukan sumber apa yang kubaca, mari kita diskusi dengan sehat. Semoga kita diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa ta`ala. Amin.


Sukron sudah mau membaca....jazakaAllah aufaru jaza'
Read On 1 komentar

Menjama’ Sholat karena Hujan

2:11 PM
بسم الله الرحمن الرحيم


Musim hujan seperti sekarang mengingatkan saya dulu ketika di jogja akhir 2008, ketika saya sholat magrib berjamaah di sebuah masjid tiba-tiba turun hujan yang sangta deras, selesai sholat sang Imam mengajak jama'ah untuk menjamak sholat isya karena hujan sangat deras, waktu itu saya belum tahu kalau boleh manjamak sholat karena hujan (berjamaah di masjid) karena yang saya tahu menjamak sholat itu karena dalam perjalanan atau musafir..

untuk lebih jelasnya baca penjelasanya dibawah ini, saya ambil dari http://www.arrisalah.net

Apakah boleh menjama’ shalat dzuhur dan ashar, maghrib dan isya’ karena sebab hujan, lalu bagimana caranya?

Jawab:

Bismillah, wasshalatu wassalamu ‘ala rasulullah wa’ala aalihi wa shahbihi man tabi’a huda.

Menjama’ antara dua shalat dengan sebab hujan merupakan cara ibadah yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad n. Pendahulu kita yang shalih dari kalangan sahabat, tabi’ien dan pengikutnya juga telah mempraktekannya. Namun sayangnya hal ini tidak banyak diketahui oleh para imam masjid di sekitar kita. Ketika hujan turun, sunnah Rasulullah yang satu ini jarang di praktekan.

Dalil dibolehkannya menjama’ sholat karena hujan atau yang disebut jama’ mathar adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim, dari Ibnu Abbas a, beliau berkata :

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ

”Rasulullah SAW pernah menjama’ shalat zhuhur dan Ashar serta maghrib dan isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”

Perkataan Ibnu Abbas bahwa Rasulullah n pernah menjama’ shalat saat mukim bukan karena takut dan bukan karena hujan menandakan bahwa ketika dalam keadaan takut dan hujan beliau menjamak shalat. Diantara Atsar yang menjelaskan para salaf juga mengerjakan jama’ mathor adalah :

Dari Nafi’, ia berkata :

أَنَّ اِبْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا جَمَعَ الأُمَرَاءُ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاء ِفِي المَطَرِ جَمَعَ مَعَهُمْ

”Apabila para amir (imam shalat) menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika hujan, Ibnu ’Umar ikut menjama’ shalat bersama mereka.”

Atsar dari Umar bin Abdul Aziz, dikeluarkan Imam Baihaqi dalam Sunan Kubra :

”Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika hujan. Dan Sa’id bin Al Musayyib, ’Urwah bin Az Zubair, Abu Bakr bin Abdur Rahman, dan para ulama ketika itu, mereka shalat bersama para amir (baca: imam shalat) dan mereka tidak mengingkarinya.”

Yang memimpin pelaksanaan jama’ mathor adalah imam tetap masjid tersebut sebagaimana yang ditunjukkan hadits dan atsar di atas. Jadi misalnya hujan turun ketika maghrib, setelah shalat magrib selesai, imam langsung berdiri memerintahkan muadzin untuk iqomah kemudian langsung melaksanakan shalat isya’ empat rakaat.

Maka kalau ada makmum yang kemudian berdiri untuk menjamak sendiri atau mengajak makmum yang lainnya untuk ikut serta dikarenakan imam tidak mengetahui jama’ matahr, maka ini tidak sesuai dengan sunnah Nabi SAW. Dan jama’ mathar dilakukan di masjid bukan dirumah, dilaksanakan secara sempurna dan tidak diqashar. Wallahua’lam.

Sukron sudah mau membaca....jazakaAllah aufaru jaza'
Read On 0 komentar

Mulianya Menjadi Ibu Rumah Tangga

6:44 PM
بسم الله الرحمن الرحيم

tulisan saya ambil dari http://ibnuabdulbari.multiply.com


Dalam sejarah peradaban, tidak ada yang bisa menyamai generasi para shahabat. Mereka adalah orang-orang pilihan Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya, Muhammad . Sungguh keistimewaan yang tidak akan tertandingi oleh apa pun. Mereka adalah generasi yang harus dijadikan panutan. Baik dari kalangan shahabat maupun shahabiyah. Membaca kisah mereka ibarat hidup di tengah-tengah mereka dan merasakan getaran kekuatan yang memasuki relung hati kita meski kita tidak pernah bertemu dengan mereka.

Di antara kisah mereka yang membuat kita terhipnotis adalah pertanyaan yang mempesona dari duta para wanita, para shahabiyah رضي الله عنهن yang diwakili oleh Asma’. Pertanyaan itu muncul karena kegelisahan dan keinginan mereka untuk mendapat pahala sebagaimana kaum pria, para shahabat. Lebih menghebohkan lagi, pertanyaan itu disampaikan ketika Nabi Muhammad bermajlis bersama para shahabatnya.

Bagaimana kisahnya? Mungkin kita sudah pernah mendengarnya, atau bahkan menghafalnya. Ini sebagai pengingat saja dan menguatkan memori kita untuk mengingat kembali kisah fantastic tersebut.

Pada suatu hari Rosululloh  sedang mengajarkan al-Qur’an dan as-Sunah kepada para Shahabatnya. Di tengah keasyikan mengajar, beliau dan para shahabat dikejutkan dengan datangnya seorang shohabiyah. Dia bernama Asma’ binti Yazid bin Sakan رضي الله عنها yang menjadi duta dari para shahabiyah di belakangnya.

Di tengah keterjutan Rasululloh dan para shahabat, Asma’ bertanya kepada beliau , ” Wahai Rasulullah , sesungguhnya aku adalah utusan bagi seluruh wanita muslimah yang di belakangku. Seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan, dan semuanyanya berpendapat sebagaimana yang aku utarakan.”

Kemudian ia melanjutkan, “Sesungguhnya Allah mengutusmu kepada semua kaum laki-laki dan kaum wanita, kemudian kami beriman kepadamu dan kepada Rabb mu. Adapun kami para wanita terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum laki-laki, dan kami adalah tempat mereka menyalurkan syahwatnya. Kami pula yang mengandung anak-anak mereka. Akan tetapi kaum laki-laki mendapat keutamaan melebihi kami dengan shalat Jum’at, mengantarkan jenazah, dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad, kami lah yang menjaga harta mereka dan mendidik anak-anak mereka.”

Berat. Sungguh berat amanah dan tugas yang ditanggung oleh wanita muslimah. Karenanya, setelah mengutarakan semua hal yang mengganjal dalam benak semua shahabiyah, ia kemudian bertanya, “Lantas, apakah kami, kaum wanita, juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan mereka ?”

Coba kita baca sekali lagi, “Lantas, apakah kami, kaum wanita, juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan mereka ?”

Mendengar pertanyaan yang sangat luar biasa indahnya, Rasulullah  terkagum-kagum sebagaimana kekaguman kita setiap kali membaca dan mengamati pertanyaan tersebut. Indah nian. Sungguh. Pertanyaan luar biasa yang terlontar karena ingin mendapatkan pahala berlimpah dari profesi ibu rumah tangga; wanita yang menjaga dirinya, harta suaminya dan mendidik anak-anaknya.

Dengan wajah tersenyum karena mendapatkan pertanyaan yang sedemikian indahnya, Rasululloh menoleh kepada para sahabat dengan menghadapkan seluruh tubuhnya dan bersabda, “Pernahkah kalian mendengar pertanyaan tentang agama dari seorang wanita yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?”

Para sahabat yang belum hilang keterjutannya dengan pertanyaan Asma’, sekarang juga terkejut lagi dengan pertanyaan Rasululloh. Pada saat itu para shahabat hanya bisa menjawab, “Belum, belum wahai Rasululloh . Bahkan, belum pernah terdetik dalam benak kami bahwa dia akan bertanya sedemikian bagusnya!”

Rasululloh dan para shahabat sangat terkagum dan terpesona dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut Asma selaku delegasi para shahabiyah.

Kemudian Rasulullah  bersabda, “Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukan kepada para wanita yang berada di belakangmu; bahwa perlakuan baik salah seorang di antara mereka kepada suaminya, upayanya untuk mendapat keridhaan suaminya, dan ketundukkannya untuk senantiasa mentaati suami; itu semua dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum laki-laki.” Subhanallah. Jawaban yang sejuk dan menentramkan. Mengobati semua kegundahan para wanita, yang iri dengan berbagai pahala yang diperoleh kaum pria.

Mendengar jawaban Rasululloh, Asma’ berlalu dengan wajah berseri-seri dan mengucapkan tahlil sebagai tanda kemenangan karena mendapatkan apa yang mereka impikan sebagai kaum wanita. Tak lama setelah itu, para shahabiyah yang mendengar kabar Asma’ selaku duta mereka pun mengumandangkan takbir setelah mendengar jawaban Rasululloh. Allahu Akbar !


Sukron sudah mau membaca....jazakaAllah aufaru jaza'
Read On 0 komentar

Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil : Tantangan Terberat Umat Islam adalah Postmodernisme

5:57 AM
بسم الله الرحمن الرحيم




Dalam prolognya yang panjang, direktur INSISTS tersebut menjelaskan bahwa perbedaan Islam dan Barat ini telah menimbulkan persoalan yang sangat serius manakala konsep-konsep Barat menghegemoni umat Islam, sedangkan umat Islam telah kehilangan tradisi ilmu yang pernah mengantarkannya pada kejayaan. “Ada kultur, cara berpikir, dan pandangan hidup yang menghegemoni hidup kita. Dalam forum ilmiah ini saya ingin sharing ide untuk dapat kita pikirkan bersama supaya yang dianggap masalah itu benar-benar masalah”, kata Dr.Hamid mengawali prolognya.

Menggunakan penjelasan Francis Fukuyama tentang bangunan peradaban Barat sebagai pisau analisis, Dr.Hamid menegaskan bahwa basis Barat sebagai peradaban sama sekali berbeda dengan Islam. “Core of American culture adalah kebebasan dan persamaaan”, papar Dr.Hamid. Konsep-konsep peradaban Barat kemudian mewujud dalam cara berpikir dan cara hidup Barat yang tidak bisa diadopsi oleh umat Islam. Aborsi di Barat legal, hidup serumah tanpa nikah no problem, hubungan anak dan orang tua dibangun atas dasar equality (kesetaraan), dan sebagainya.

Saat ini umat Islam, menurut Dr.Hamid, banyak yang mengatakan bahwa kita tidak usah membedakan antara Islam dan Barat karena hal itu berarti berpikir secara ideologis. “Bagaimana kalau kita sekarang berpikir epistemologis? Apa yang menjadi tantangan terberat umat Islam saat ini adalah Posmodernisme”, tantang Dr.Hamid.

“Posmodernisme menawarkan sebuah konsep yang tidak terstruktur dan basisnya relativisme”, kata Dr.Hamid. Posmodernisme menghancurkan icon, struktur, cara berpikir lama untuk diganti dengan cara berpikir baru. Mengutip pendapat Ernest Gellner, inti Posmodernisme adalah sebuah doktrin, ‘segala sesuatu adalah teks dan setiap teks harus ditafsiri’. Akibatnya, berbagai penafsiran diterima dan hermeneutic adalah nabi-nya. “Banyak pendekatan dalam hermeneutic yang kesemuanya berbasis pada cara pandang penafsirnya sehingga semua kebenaran menjadi relative dan tidak ada kebenaran absolute”, papar Dr.Hamid. Posmodernisme ini pula yang menandai perbedaan – bahkan benturan – antara Islam dan Barat.

Perhatian yang diberikan Dr.Hamid pada Posmodernisme dilatarbelakangi oleh dahsyatnya penetrasi paham tersebut ke dalam pemikiran Islam. Bangunan Islam sebagai agama serta worldview mencoba diruntuhkan oleh Posmodernisme. “Masuk ke dalam pemikiran Islam, maka tafsir itu menjadi relatif”, kata Dr.Hamid. Tafsir dianggap relatif, tentu tidak lepas dari doktrin relativisme; agama itu absolut dan pemikiran keagamaan itu relatif. Dari doktrin yang satu, kemudian melahirkan doktrin yang lain; pluralisme, humanisme, dan feminisme. Ketiga doktrin yang sering digadang-gadang oleh Posmodernisme ini dibahas oleh Tim PKU (Program Kaderisasi Ulama) ISID Gontor mulai pukul 09.00 hingga pukul 15.00 WIB.

Sebagai penutup, Dr.Hamid menyampaikan epilog-nya. Islam sebagai worldview memiliki konsep-konsep yang saling berjejaring. Kita tidak bisa bicara ilmu tanpa berbicara Tuhan. Yang perlu dihidupkan oleh umat Islam sekarang ini adalah tradisi ilmu yang sekarang ini hilang dari dalam diri umat Islam. Dari tradisi ilmu akan dihasilkan konsep-konsep. Dalam sejarah peradaban Islam, dominasi pandangan hidup Islamlah yang menjadi sebab kemajuan peradaban Islam, sedangkan politik hanya sebagai ‘katrol’. Dr.Hamid juga melihat kegelisahan yang melanda para peserta. Mereka memiliki tekad membangun peradaban Islam di tengah dominasi peradaban Barat, namun bingung darimana harus memulai. “Tiga tahapan yang harus dilakukan adalah de-Westernisasi, ambil konsep-konsep Barat yang bisa diambil (adaptasi), kemudian lakukan Islamisasi”, jelas Dr.Hamid. (Kar).Sumber: www.inpasonline.com

Sukron sudah mau membaca....jazakaAllah aufaru jaza'
Read On 0 komentar

Melawan Dengan Argumentasi Ilmu

4:49 PM
بسم الله الرحمن الرحيم


Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Ketika kalangan aktivis muslim ramai-ramai menghujat Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla, memutarbalikkan ajaran Islam, Hamid Fahmy Zarkasyi MA, MPhil, PhD tak ikut larut dalam suasana emosional itu. Putra pendiri Pondok Modern Gontor itu melawannya dengan ilmu lewat diskusi argumentatif dan tulisan di media massa.

Suatu hari Hamid Fahmi Zarkasyi dan Adian Husaini bertemu dengan Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab di Kuala Lumpur.
Ketiganya pun terlibat diskusi seru dan panjang di kediaman Hamid. Seusai diskusi, Hamid dan Adian mengantar Habib Rizieq ke seorang profesor di kampus Universiti Malaya untuk mendaftar sebagai mahasiswa program master di kampus tertua di Malaysia itu. Beberapa tahun kemudian Habib Rizieq kelar dari program MA dengan tesis “Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariat Islam di Indonesia dengan predikat cum laude dan langsung melanjutkan ke program doktor.

“Tidak mudah meyakinkan habib untuk sekolah kembali,kisah Hamid. “Habib berpandangan bahwa kemungkaran yang tampak mata adalah problem utama umat ini yang harus segera diberantas. Pandangan ini benar. Namun ada problem yang jauh lebih penting dari itu, yaitu kemungkaran ilmu, lanjutnya. Hamid menjelaskan, orang yang berzina, berjudi, atau menjadi gay memang salah.

Namun kesalahan yang jauh lebih besar terjadi bila kemudian ada intelektual yang membenarkan dan membela tindakan salah itu. “Dan itu sekarang terjadi di negeri ini. Ada seorang profesor doktor dari UIN Jakarta terang-terangan membela gay, kata Hamid. Menurut Hamid, munculnya gagasan-gagasan aneh dan menyimpang di kalangan intelektual Islam adalah sesuatu yang patut disayangkan.

Sebagai orang berilmu, mereka seharusnya memiliki pemikiran dan kepribadian yang bisa membawa maslahah (kebaikan) bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Bukan justru membuat bingung dan bimbang masyarakat terhadap agamanya. Kondisi itu terjadi, kata Hamid, karena ilmu yang ada di pikiran para intelektual itu telah rusak (mungkar).

“Semua persoalan yang dihadapi umat Islam, bangsa Indonesia, dan dunia sekarang ini bersumber dari satu hal; kemungkaran ilmu. Ketika ilmu sudah rusak, rusak pula hasil pemikiran dan perilaku orang yang memilikinya. Maka jangan heran bila banyak orang cerdas yang melakukan korupsi, ujarnya. Hamid melanjutkan, ilmu pengetahuan adalah dasar dari setiap perilaku manusia. Sikap dan perilaku seseorang sangat ditentukan oleh bangunan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Bahkan ilmu merupakan basis bagi sebuah bangunan besar peradaban. Warna dan bentuk sebuah peradaban ditentukan oleh basis keilmuan yang dijadikan pondasi.

Bagi Hamid, ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang murni obyektif. Tidak ada objektivitas murni dalam ilmu pengetahuan karena semua ilmu bersumber dari paradigma atau worldview (pandangan hidup). “Sementara ini ilmu pengetahuan yang kita pelajari bersumber dari pandangan hidup masyarakat Barat yang menafikan peran Tuhan atau minimal meragukan adanya Tuhan, kata Hamid.

Masyarakat Barat, lanjut doktor lulusan International Islamic University (IIU) Malaysia ini, pada abad pertengahan begitu trauma dengan peran Gereja Katolik yang sangat dominan. Sehingga ketika era baru lahir (abad modern), mereka mencoba meninggalkan semua yang berbau Tuhan dan agama dalam setiap lini kehidupannya. Akibat dari ilmu pengetahuan yang menanggalkan peran Tuhan adalah tiadanya tanggungjawab moral yang secera intrinsik melekat pada mereka-mereka yang memiliki ilmu.

“Maka tidak heran bila sekarang ini banyak orang belajar agama tetapi semakin ragu pada agamanya dan perilakunya tidak sesuai norma agama. Atau orang yang belajar hukum namun justru dia sendiri suka melanggar hukum, katanya. Berbeda dengan itu, Islam justru menekankan keterkaitan erat antara ilmu dan iman. Panjang lebar Hamid menjelaskan, pandangan hidup Islam mengenal trilogi yang tak terpisahkan antara iman-ilmu-amal. Ilmu harus berpijak pada iman dan berujung pada amal (perilaku).

“Beriman tanpa ilmu itu dilarang oleh Islam. Demikian juga berilmu tanpa iman. Apalagi beramal tanpa iman dan ilmu, tegas Purek III Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor itu. Konsep ini diyakini Hamid mampu membuat setiap orang menjadi pribadi paripurna. "Dengan trilogi itu, seorang intelektual bisa menjadi seorang yang taat ibadah dan bermoral baik dalam waktu yang sama, katanya.

Mendirikan Insists

Kemungkaran ilmu harus segera dilawan agar masyarakat tidak semakin rusak. Namun Hamid menekankan, kemungkaran jenis ini tidak bisa dilawan dengan aksi massa atau kekerasan. “Kalau kita diserang dengan senjata, kita harus berjihad dengan angkat senjata. Namun bila serangan itu dengan ilmu, kita harus melawannya dengan ilmu juga,ujar Hamid.

Atas dasar ini, Hamid Fahmy bersama teman-temannya di Malaysia mendirikan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (Insists). Selain Hamid, lembaga yang didedikasikan untuk mengkonter JIL dan membangun kembali peradaban Islam yang berasas pada paradigma keilmuan Islam itu diisi oleh beberapa intelektual muslim muda seperti Adian Husaini PhD, Adnin Armas MA, Ass Prof Ugi Suharto PhD, Anis Malik Thoha PhD, dan Syamsuddin Arif PhD.

Insists bergerak cepat dengan melakukan lokakarya di berbagai daerah hingga ke kota-kota di Timur Tengah yang menjadi tujuan studi mahasiswa Indonesia, seperti di Kairo dan Arab Saudi. Mereka juga menerbitkan buku, menulis artikel di media massa, hingga menerbitkan Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia. Di jurnal ini, Hamid Fahmy berposisi sebagai pemimpin redaksi. Selain itu, Insists juga membidani kelahiran lembaga-lembaga kajian baru sebagai institusi satelit bagi Insists di berbagai kota.

Di Surabaya sendiri, akhir Juli lalu di-launching Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (Inpas) dengan visi-misi tidak jauh beda dengan Insists. “Kapan Berjuangnya? Pada 29 September 2006, bertepatan dengan 6 Ramadhan 1426, Hamid Fahmy Zarkasyi, dinyatakan lulus doktor. Di depan tim penguji ISTAC-IIU Malaysia, yang terdiri dari Prof Dr Osman Bakar, Prof Dr Ibrahim Zein, Prof Dr Torlah, dan Prof Dr Alparslan Acikgence, Hamid Fahmy berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul: al-Ghazzali’s Concept of Causality. Prof Alparslan memuji kajian Hamid sebagai memberi sumbangan penting pada kajian sejarah pemikiran Islam. Sebab pendekatan Hamid terhadap konsep kausalitas al-Ghazzali telah menjelaskan sesuatu yang selama ini telah dilewatkan oleh kebanyakan cendekiawan pengkaji al-Ghazzali.

Hamid Fahmy lahir di Gontor, 13 September 1958. Ia adalah putra ke sembilan dari KH Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Modern Gontor Ponorogo. Selama ini, Hamid lebih banyak menghabiskan usianya untuk mencari ilmu. Setelah lulus BA dari Gontor pada 1982, Hamid melanjutkan studi ke program master di Universitas Punjab, Pakistan. Di sini ia memperdalam ilmu kependidikan yang sebelumnya ia peroleh dari Gontor. Setelah lulus dari Punjab, Hamid kembali ke Gontor. Namun kecintaan pada ilmu begitu kuat dalam diri Hamid. Maka pada 1996 ia belajar filsafat di University of Birmingham, Inggris hingga mendapat gelar Master of Philosophy (1998). Dari Inggris ia pun terbang ke Malaysia melanjutkan studi ke program doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan lulus pada 2006.

Tentang panjangnya waktu yang ia habiskan untuk belajar, salah seorang teman pernah berkata pada Hamid, "Ente ini belajar terus. Kapan berjuangnya? Pertanyaan sindiran ini begitu terngiang dalam benak Hamid hingga ia bergegas menyelesaikan studinya untuk berjuang mengamalkan ilmunya. (Ahmad Khoirul Fata)

Biodata

Nama Lengkap: Hamid Fahmy Zarkasyi, MA, MPhil, PhD
TTL : Gontor, 13 September 1958


Pendidikan :

- Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor (lulus 1977)
- BA pada Fakultas Tarbiyah, Institut Pendidikan Darussalam (IPD) Gontor (lulus 1982).
- Master of Art in Education (MA.Ed) pada Institute of Education and Research (IER), University of Punjab, Lahore, Pakistan (1986).
- Master of Philosophy (MPhil) pada Faculty of Art, Dept. Theology, Unversity of Birmingham, United Kingdom (1996-1998).
- Philosophy Doctor (PhD) pada International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), Kuala Lumpur, Malaysia (2006)

Aktivitas:
- Purek III Institute Studi Islam Darusalam (ISID) Gontor
- Pemimpin Redaksi jurnal ISLAMIA (http://cakfata-denbagus.blogspot.com/2009/01/hamid-fahmy-zarkasyi.html)

Sukron sudah mau membaca....jazakaAllah aufaru jaza'
Read On 2 komentar

Memanfaatkan Google Dork Sebagai Senjata Hacking

12:58 PM
بسم الله الرحمن الرحيم


Author : Rascal_21

Google dork sebagai senjata hacking

Banyak pencarian yang kita inginkan pada search engines tidak seperti yang diharapkan, mengapa? karena keyword yang anda masukan kurang sesuai dengan keyword-keyword yang tersimpan di mesin search engines.

Sehingga untuk mempermudahnya Google menyediakan fasilitas-fasilitas (dork), untuk mempermudahkan suatu pencarian, bahkan kita juga dapat melakukan hacking (melihat password) account orang lain yang terindex oleh google.



Pengenalan tentang google dorks :
Type-type dalam penggunaannya ada beberapa macam diantaranya:

intitle
allintitle
(Mencari judul/title pada suatu web)

inurl
allinurl
(Mencari suatu string yang terdapat pada url)

filetype

(Mencari suatu file secara lebih spesifik)
(www.google.c.id/help/faq_filetypes.html)

allintext
(Mencari suatu nilai string dalam suatu web)

site
(Mencari pada web tertentu)

link
(Mencari web2 yang mempunyai link pada web yang di pilih)

contoh dalam pengguunaannya:

Apabila kita ingin mencari sebuah lagu dari avenged maka kita ketikan sja di google seperti ini
intitle:"index of/avenged" dan apa hasilnya, akan kelihatan semua kumpulan lagu2 tsb, dan dengan mudah untuk kita mendownloadnya.

Pengertian diatas, mksdnya biasanya dalam sebuah databse file web terdapat kata ( index of ) maka kita gunaka fungsi intitle untuk mencari sebuah title yang berkaitan dengan kata ( index of ), llu ketikan kata aveng*d agar google mencari database file tentg kata-kata aveng*d

Apabila kita ingin mencair sebuah skripsi maka kita ketikan sja di google seperti ini
intitle:"index of" "skripsi" site:.ac.id
mksudnya site:ac.id itu biasanya url untuk kampus berakhiran .ac.id

dan ini contoh2 lain dalam penggunaan google dork
inurl:"guest | book" "html allowed"
inurl:password.log
intitle:"index of" password.txt site:my
intitle:"index of" admin.mdb
intitle:"index of" member.mdb
intitle:"phpmyadmin" "running on localhost"
intitle:"index of" "data base" site:id
inurl:database.inc site:id
inurl:connector.txt site:id
site:id filetype:.doc

sehingga kita bisa menggunakan google ini untk senjata hacking kita:
misalkan kita ingin mencoba untuk menembus pada web dari j**mla dengan menggunakan token (').
biasanya url ketika memasukan token tsb adlah
*******.com/index.php?option=com_user&view=reset&layout=confirm
di url tsb terdapat tulsan option=com_user
mka dgn sedikit logika, kita coba menggunakan type ( inurl ) u/ mencari url yg berkaitan dengan kata option=com_user

ketikan di google >>>>>>>> inurl:"option=com_user"
dan akan terlihat hasilnya, kita ambil contoh pada web indonesia saja,

http://www.lbifib.ui.ac.id/index.php?option=com_user&view=login

lalu hapus pada url (/index.php?option=com_user&view=login) dan ganti url tersebut menjadi

http://www.lbifib.ui.ac.id/index.php?option=com_user&view=reset&layout=confirm

lalu ketikan token '
dan apa hasilnya, password sudah bisa kita reset ulang,,,,

sekarang tinggal bagaimana kita meng-applikasikan kata tersebut agar bisa mencari celah pada suatu URL website.

Dork Email

filetype:txt @yahoo.com password:*
filetype:txt @ymail.com password:***
filetype:txt @yahoo.com password:***
filetype:txt @gmail.com password:*
filetype:txt @gmail.com password:*
filetype:txt email + password:* @gmail.com @yahoo.com

Dork Rapidshare

Expiration-date:*2010 +login: rapidshare.com

Note : Date nya tinggal ganti sesuka kita, mau di ubah ke 2011- 2012- 2013. Etc

Sukron sudah mau membaca....jazakaAllah aufaru jaza'
Read On 0 komentar

Ucapan "amin", "aamin", "amiin", atau "aamiin"

6:49 AM
بسم الله الرحمن الرحيم

Lafaz aamiin diucapkan didalam dan diluar salat, diluar salat amin diucapkan oleh orang yang mendengar doa orang lain. Aamiin termasuk isi fiil Amr, yaitu isim yang mengandung pekerjaan. Maka para ulama jumhur mengartikannya dengan Allahummas istajib (ya Allah ijabahlah). Makna inilah yang paling kuat dibanding makna-makna lainnya seperti bahwa aamiin adalah salah satu nama dari asma Allah swt.



Membaca aamiin adalah dengan memanjangkan a (alif) dan memanjangkan min, apabila tidak demikian akan menimbulkan arti lain.
Dalam Bahasa Arab, ada empat perbedaan kata “AMIN” yaitu :

1. ”AMIN” (alif dan mim sama-sama pendek), artinya AMAN, TENTRAM

2. "AAMIN” (alif panjang & mim pendek), artinya MEMINTA PERLINDUNGAN KEAMANAN

3. ”AMIIN” (alif pendek & mim panjang), artinya JUJUR TERPERCAYA

4. “AAMIIN” (alif & mim sama-sama panjang), artinya YA TUHAN, KABULKANLAH DOA KAMI




Arti kesemuanya bermakna baik, tapi benar atau belum pemakaian kata² tersebut?
Supaya apa yang kita lafalkan benar dan sesuai dengan arti yang kita inginkan.
Semoga bermanfaat...


Wallahu a'lam bish showab(adjieputra)


Sukron sudah mau membaca....jazakaAllah aufaru jaza'
Read On 0 komentar

ETIKA PERGAULAN LAWAN JENIS DALAM ISLAM

1:33 PM
بسم الله الرحمن الرحيم

Tuban -Sebagai seorang Muslim yang memgang teguh Ajaran Islam dengan selalu melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah SWT serta Rasulullah SAW dan menjauhi segala laranganya, selayaknya kita selalu melandasi segala kegiatan di dunia ini sesuai dengan ajaran Rasululllah SAW. agar kita selalu terhindar dari murka Allah SWT termasuk dalam pergaulan apalagi terhadap lawan jenis.

Ada 6 etika yang mesti diperhatikan oleh seorang muslim ketika bergaul dengan lawan jenis. (Usyikum wa iyyaya nafsi)

diambil dari blognya Mas jerri



1. Menundukan Pandangan terhadap Lawan Jenis

Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukan pandangannya, sebagaimana firman-Nya, artinya, "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya." (QS. An-Nûr: 30).

Sebagaimana hal ini juga diperintahkan kepada wanita beriman, Allah berfirman, artinya, "Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluan-nya." (QS. An-Nûr: 31).

2. Menutup Aurat

Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya." (QS. An-Nûr: 31).

Juga firman-Nya, artinya, "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzâb: 59).

3. Adanya Pembatas Antara Laki-laki dengan Wanita

Seseorang yang memiliki keperluan terhadap lawan jenisnya, harus menyampaikannya dari balik tabir pembatas. Sebagaimana firman-Nya, artinya, "Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (para wanita) maka mintalah dari balik hijab." (QS. Al-Ahzâb: 53).


4. Tidak Berdua-duaan dengan Lawan Jenis
Dari Ibnu 'Abbâs RadhiyallahuAnhu berkata, "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya." (HR. Bukhârî 9/330, Muslim 1341).

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga bersabda, "Janganlah salah seorang dari kalian berdua-duaan dengan seorang wanita, karena setan akan menjadi yang ketiganya." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzî dengan sanad shahih).

5. Tidak Mendayukan Ucapan

Seorang wanita dilarang mendayukan ucapan saat berbicara kepada selain suami. Firman Allah Subhaanahu wa Ta'ala, artinya, "Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS. Al-Ahzâb: 32).

Berkata Imam Ibnu Katsîrrahimahullâh, "Ini adalah beberapa etika yang diperintahkan oleh Allah kepada para istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam serta para wanita Mukminah lainnya, yaitu hendaklah dia kalau berbicara dengan orang lain tanpa suara merdu, dalam artian janganlah seorang wanita berbicara dengan orang lain sebagaimana dia berbicara dengan suaminya." (Tafsîr Ibnu Katsîr: 3/530).

6. Tidak Menyentuh Lawan Jenis

Dari Ma'qil bin Yasâr t berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (HR. Thabrânî dalam Mu'jam al Kabîr: 20/174/386).

Berkata Syaikh Al-Albânîrahimahullâh, "Dalam hadits ini terdapat ancaman keras terhadap orang-orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (Ash-Shohîhah: 1/448).

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak pernah menyentuh wanita meskipun dalam saat-saat penting seperti membaiat dan lain-lain. Dari 'Aisyah berkata, "Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat." (HR. Bukhârî 4891).

Inilah sebagian etika pergaulan laki-laki dengan wanita selain mahram, yang mana, apabila seseorang melanggar semuanya atau sebagiannya saja akan menjadi dosa zina baginya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. zina mata dengan memandang, zina lisan dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan serta berangan-angan, lalu farji yang akan membenarkan atau mendustakan semuanya." (HR. Bukhârî dan Muslim).

Padahal Allah Subhaanahu wa Ta'ala telah melarang perbuatan zina dan segala sesuatu yang bisa mendekati perzinaan. (Lihat Hirâsatul Fadhîlah oleh Syaikh Bakr Abu Zaid, hal. 94-98).

Sebagaimana firman-Nya, artinya, "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isrâ': 32).

KESIMPULANYA

maka tidak diragukan lagi bahwa pacaran itu "haram", karena beberapa sebab berikut:

1. Orang yang sedang pacaran tidak mungkin menundukan pandangannya terhadap kekasihnya. Awal munculnya rasa cinta itu pun adalah dari seringnya mata memandang kepadanya.

2. Orang yang sedang pacaran tidak akan bisa menjaga hijab.

3. orang yang sedang pacaran biasanya sering berdua-duaan dengan kekasihnya, baik di dalam rumah atau di luar rumah

4. Wanita akan bersikap manja dan mendayukan suaranya saat bersama kekasihnya.

5. Pacaran identik dengan saling menyentuh antara laki-laki dengan wanita, meskipun itu hanya jabat tangan.

6. Orang yang sedang pacaran, bisa dipastikan selalu membayangkan orang yang dicintainya.

Perhatikan kembali etika pergaulan dengan lawan jenis dalam Islam yang telah kami sebutkan di atas. Berapa poin pelanggaran yang dilakukan oleh orang pacaran? Dalam kamus pacaran, hal-hal tersebut adalah lumrah dilakukan, padahal satu hal saja cukup untuk mengharamkan pacaran, lalu bagaimana kalau semuanya?

SYUBHAT DAN JAWABANNYA

Sebenarnya, keharaman pacaran lebih jelas daripada matahari di siang bolong. Namun begitu, masih ada yang berusaha menolaknya walaupun dengan dalil yang sangat rapuh, serapuh rumah laba-laba Di antara syubhat itu adalah:

Syubhat pertama:
Tidak bisa dipukul rata bahwa pacaran itu haram, karena bisa saja orang pacaran yang Islami, tanpa melanggar syariat.

Tanggapan:
Istilah "Pacaran Islami" itu cuma ada dalam khayalan, dan tidak pernah ada wujudnya. Anggaplah dia bisa menghindari khalwat (berduaan), menyentuh serta menutup aurat, tapi tetap tidak akan bisa menghindari dari saling memandang. Atau paling tidak membayangkan dan memikirkan kekasihnya. Yang mana hal itu sudah cukup mengharamkan pacaran.

Syubhat kedua:
Orang sebelum memasuki dunia pernikahan, butuh untuk mengenal dahulu calon pasangan hidupnya, baik sisi fisik maupun karakter, yang mana hal itu tidak akan bisa dilakukan tanpa pacaran, karena bagaimanapun juga kegagalan sebelum menikah akan jauh lebih ringan daripada kalau terjadi setelah nikah.

Tanggapan:
Memang, mengenal fisik dan karakter calon istri maupun suami merupakan suatu hal yang dibutuhkan orang sebelum memasuki biduk pernikahan, agar tidak ada penyesalan di kemudian hari, juga tidak terkesan membeli kucing dalam karung. Namun, tujuan ini tidak bisa menghalalkan sesuatu yang haram. Ditambah lagi, bahwa orang yang sedang jatuh cinta akan berusaha menampakkan segala yang baik dengan menutupi kekurangannya di hadapan kekasihnya. Juga orang yang sedang jatuh cinta akan menjadi buta dan tuli terhadap perbuatan kekasihnya, sehingga akan melihat semua yang dilakukannya adalah kebaikan tanpa cacat. (Lihat Faidhul Qodîr oleh Imam Al-Munâwî: 3/454).

ada ungkapan menarik dari teman saya yaitu

cintailah orang yang anda nikahi bukan nikahi orang yang anda cintai

Sukron sudah mau membaca....jazakaAllah aufaru jaza'

Read On 0 komentar
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Terbaru


Who am I.....

Foto saya
alhamdulillah, I am just a few people who can feel studying at high school then more of my friend can't feel it....
free counters

Followers

Text Backlink Exchanges Web Link Exchange Text Back Link Exchange Text Backlink Exchanges Text Back Links Exchanges