"kawasan wajib belajar,"
saya bukan orang pintar, karena orang pintar dulunya bodoh, saya adalah orang bodoh yang ingin belajar.

Ustadz kok "Kemayu" ?

بسم الله الرحمن الرحيم

oleh doni putra pratama pada 16 Juni 2011 jam 13:04

Bagi masyarakat kita, posisi ustadz dinilai sebagai profesi luhur. Sebagian orang mengatakan profesi suci. Selain dianggap berada dalam ruang otoritas keagamaan, juga menyesaki persepsi budaya. Terhormat, terpandang, dan tentu saja menjadi rujukan moral.

Bagi masyarakat urban yang cenderung menganut nilai-nilai sekular, simbol-simbol kesalehan sangat diperlukan. Disamping untuk menetralisir budaya, dengan perannya, figur yang saleh dan penuh referensi moral dapat dijadikan harapan bagi terciptanya masyarakat yang lebih baik.

Kini, profesi ustadz mulai tergerus oleh kepentingan kapitalistik. Disamping menjadi bagian dari komoditas, sebagian lagi menjadi korban kerakusan kapitalisme. Gaya hidup mewah. Kawin-cerai juga, meskipun ada ruang agama disana, menjadi isyu yang dapat merusak “wibawa” ustadz. Belum lagi tuduhan “selingkuh”, atau melebihi itu, manambah runyam karenanya.

It’s oke, ustadz juga manusia. Tapi posisi suci dalam keberagamaan, idealnya harus dijaga. Tak terkecuali. Ustadz juga harus pandai menjaga jarak agar tidak jadi korban kapitalistik. Menjadi bintang sebuah produk industry atau jasa, tentu bukan hal yang salah. Halal orang bilang. Tapi, sadar atau tidak, hal itu berkontribusi bagi penurunan wibawa.


Dalam ruang plublik, seorang figur massa, memang dapat dimanfaatkan untuk media apapun. Mulai dari penyebaran nilai-nilai baik, dalam konteks ustadz untuk dakwah, sekaligus juga bisa untuk membesarkan bisnis atau kepentingan politik. Dalam dunia media TV, bisa untuk cari rating, iklan, dan tentu saja uang.

Menyedihkan! Sebagian kalangan menyindir. Mereka menyarankan agar media, khususnya TV cermat memilih seorang pendakwah yang tampil. Bukan semata urusan rating, tapi juga muatan pesan, dan “imajinasi” audiens. Dulu dikenal ustdaz gaul, funky, cepot, cinta, dan ada juga ustadz pelawak. Intinya, audiens, pemirsa dan pendengar, dibuat senang, meskipun muatan moral yang cetek, atau dibilang gak bermutu.

Nah, belakangan, ada sebuah stasiun TV yang menampilkan ustadz, yang menurutku “kemayu”. Padahal kemayu itu gaya perempuan. Masalahnya dia laki-laki. Jelas, ini bukan kebetulan, minimal dari aspek kepentingan media. Ditambah lagi, lawakan, baik verbal, maupun sikapnya, orang abak gaul bilang: lebay!

Para tokohpun prihatin, dan menyarakan agar TV mementingkan konten dakwah, tanpa melupakan kemasan yang menarik. Mereka berpendapat, banyak SDM perguruan tinggi Islam yang mampu menduduki itu, cerdas, intelek, saleh, sekaligus menghibur.

Namun, apa daya para tokoh itu. Mereka gak punya duit, apalagi media. Himbauan hanya didengar kuping kanan, keluar kuping kiri. Pemilik TV bilang, kalau orang kampus yang ngisi, pengiklan gak ada yang mau. Kalau gak ada iklan, terus gimana bisnis?

Memang agak janggal argumentasi TV. Rating dan iklan jadi “tuhannya”. Bukankah acara dakwah hanya 30 menit. Waktunya pun di pagi buta. Penontonnya hanya “orang-orang beriman”, kalau toh ketiduran, minimal “si mbak” sudah bangun bikin sarapan untuk tuannya sambil nonton TV. Harusnya, durasi tayang dan waktu yang tidak terhitung prime, bisa kok disubsidi dari sekitar 11 jam bisnis iklan.

Ya, itu alasan, aneh dan mengada-ada. Aku hanya bisa protes, atau lembutnya kritik. Itulah yang bisa aku lakukan. Bukankah ustadz adalah manusia “setengah” malaikat? Sehingga sikap, perilaku, dan ucapan ustadz akan di-copy paste oleh masyarakat. Sikap kemayu, dapat dianggap sebagai legitimasi sebagai hal wajar. Meskipun laki-laki, kemayu boleh, wong ustadz juga begitu. Belum lagi ditambah celetukan-celetukan gak penting! Akibatnya, agama jadi lips-service, hanya dibibir, untuk kepentingan sesaat, dan bisa jadi bahan guyonan.

Yang lebih menyedihkan lagi, ada ustadzah yang ceramah di TV, tapi sukanya sibuk benerin kostum didepan kamera, sambil mencap-mencep, dengan kosmetik yang berlebihan. Anehnya, pembawa acaranya pun nyeletuk yang tidak sopan, dan dijawab ustdazah yang, amit-amit, norak pol. Akibatnya? Aku mualeeesss banget nonton dakwah-dakwah komersil di TV. Disamping gak mutu, juga merusak citra dakwah yang luhur.

Masalahnya, apa guna tulisan ini? Menghabiskan waktu saja! Ya sudah, sebaiknya aku mikir untuk tugas yang lebih bermanfaat dari sekedar urusan kapitalisasi agama. Wallahu a’lam.

Sukron sudah mau membaca....jazakaAllah aufaru jaza'

 
0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Terbaru


Who am I.....

Foto saya
alhamdulillah, I am just a few people who can feel studying at high school then more of my friend can't feel it....
free counters

Followers

Text Backlink Exchanges Web Link Exchange Text Back Link Exchange Text Backlink Exchanges Text Back Links Exchanges