"kawasan wajib belajar,"
saya bukan orang pintar, karena orang pintar dulunya bodoh, saya adalah orang bodoh yang ingin belajar.

Keluar dari Sekat Mazhab

Label:
Malam setelah terawih saya mengisi kekosongang dengan surfing (berselancar) di dunia maya, mataku terpaku tajam pada sebuah artikel yang menurutku tidak asing di pikiranku. artikel itu ada di Gatra.com, berikut artikelnya.......

KENANGAN ber-tajammu'(makan bersama-sama dengan satu piring atau wadah lainya) 10 tahun silam itu berkelebat dalam diri Imam Ratrioso, 29 tahun. Kopi, rokok, cemilan, dan diskusi. "Ngangenin, pokoknya," Imam mengenang. Meski di Pondok Modern "Darussalam" Gontor tajammu' adalah kegiatan "indisipliner", hampir setiap malam, Imam --yang kini berprofesi sebagai psikolog-- selalu ber-tajammu' bersama teman-temannya.



Bagi Imam, tajammu' --artinya "berkumpul bersama"-- tak selamanya negatif. Acaranya juga bukan semata-mata makan dan minum ramai-ramai, yang membuatnya dilarang di Gontor. Justru di tajammu'-lah Imam, yang alumni tahun 1995, merasa banyak belajar tentang arti kebebasan dan perbedaan. "Di tengah minimnya ruang demokrasi di Gontor, tajammu' adalah ruang yang paling mengasyikkan. Saya baru menyadarinya ketika sudah di luar," ujar Imam.

Selain tajammu', ruang lain yang memungkinkan santri belajar berdemokrasi adalah munaqosyah dan muhadhoroh. Munaqosyah (diskusi) diwajibkan untuk santri kelas V (setingkat SLTA kelas II), sedangkan muhadhoroh (latihan berpidato) diwajibkan untuk santri kelas I-IV (setingkat SLTP-SLTA kelas I). Di dua kegiatan itulah santri juga bisa bebas beradu pendapat dan argumentasi dalam tiga bahasa (Arab, Inggris, atau Indonesia).

Di luar itu, Imam menggelengkan kepala. Sebab, bisa dikatakan, hampir semua kegiatan santri di Gontor sesungguhnya sangat terkontrol. Demokrasi adalah hal yang tampak jauh di sini. Jaros, atau bel, yang dentingannya terdengar hampir setiap jam ke seantero Gontor, adalah pertanda penting betapa ketat dan disiplinnya kehidupan sehari-hari santri Gontor. Dari bangun tidur, masuk kelas, salat, olahraga, belajar bersama, hingga tidur lagi!


Pendapat lebih keras disampaikan alumni Gontor yang lain: Faisal Haq dan Anis Maftuhin. Menurut Faisal, jika ukuran demokrasi adalah kebebasan, partisipasi, dan keterbukaan, maka Gontor belum sepenuhnya melaksanakan demokrasi. "Yang ada justru budaya oligarki. Elite-elitenya saja yang main," ucap Faisal.

Faisal mencontohkan prosesi pemilihan Ketua OPPM (Organisasi Pelajar Pondok Modern), semacam OSIS-nya santri. Menurut alumni 1977 asal Palembang ini, pemilihan itu masih sangat ditentukan oleh "restu" pimpinan pondok (sebutan untuk kiai tertinggi di Gontor) dan bukannya suara santri sendiri --meskipun sudah ada pemilihannya. "Seharusnya itu diubah. Organisasi santri seharusnya bisa lebih demokratis," Faisal menegaskan.

Bagi Anis Maftuhin, alumni tahun 1996 asal Salatiga, "Tak ada demokrasi di Gontor. Yang ada hanyalah pembelajaran demokrasi". Tajammu', munaqosyah, dan muhadhorah, ia menambahkan, hanyalah saluran kecil untuk para santri belajar berdemokrasi. Karena selesai kegiatan itu, santri mesti kembali dihadapkan pada ketatnya waktu dan peraturan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Pimpinan pondok Modern Gontor bukan tidak menyadari, belum totalnya pelaksanaan demokrasi di Gontor ini. KH Imam Badri, salah seorang dari tiga pimpinan pondok, beralasan: "Demokrasi dalam alam pendidikan sulitlah disamakan dengan demokrasi di alam bebas." Sebabnya, santri masih belajar berdemokrasi dan sedang dalam pendidikan. Sehingga perlu dipandu dan diarahkan ke rel Al-Quran dan sunah.

Pendapat itu bukan tanpa eksperimen. Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, santri Gontor ternyata pernah menerapkan "demokrasi liberal", dengan memilih langsung Ketua OPPM-nya. "Semuanya memilih. Anak-anak... berjejer, memasukkan suara ke kotak suara. Sore, langsung diumumkan. Wah, rame..." kenang KH Hasan Abdullah Sahal, seorang pimpinan pondok yang lain.

Lalu, kenapa sekarang berubah? Jawab Ustad Hasan, demikian panggilan akrab KH Hasan Abdullah Sahal, "Karena disalahgunakan. Terjadi grup-grupan (antarsantri) dan itu merusak pendidikan."

Menurut Ustad Hasan, Gontor melaksanakan demokrasi dengan cara dan cirinya sendiri. "Kata 'demokrasi' itu 'dicarai' Gontor dan 'dicirii' Gontor. Cara-cara dan ciri-ciri demokrasi di Gontor tidak sama dengan yang ada di luar," ia menjelaskan.

Contohnya adalah bagaimana Gontor menetapkan pimpinan pondok-nya. Jika pada pondok pesantren lain posisi kiai sebagian besar bersifat keturunan. Di Gontor, orang bukan keturunan pendiri pun bisa menduduki posisi pimpinan pondok. Syaratnya, asal dipilih dan disetujui oleh Badan Wakaf Pondok Modern "Darussalam" Gontor. KH Shoiman Luqmanul Hakim (almarhum) dan KH Imam Badri, adalah dua orang pimpinan pondok yang bukan keturunan pendiri.

Badan Wakaf adalah majelis tertinggi di Gontor yang berdiri sejak pondok yang didirikan oleh Trimurti ini (KH Abdullah Sahal, KH Zainuddin Fannani, dan KH Imam Zarkasyi) diwakafkan kepada umat Islam pada 1958. Tugas Badan Wakaf, mirip MPR pada zaman Orde Baru. Salah satunya, memilih pimpinan pondok sekaligus meminta pertanggungjawabannya setiap lima tahun sekali. "Pemilihan dilakukan dengan cara musyawarah mufakat," jelas Ustad Ma`ruf C.H., seorang guru senior.

Lain di santri, lain pula Gontor menyikapi demokarasi dari luar. Meski secara praktis dan teoretis "demokrasi" belum sepenuhnya diterapkan. Sikap pondok yang dihuni 4.500 santri ini terhadap proses dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia sangat konsisten dan netral. Tak pernah ada cerita, Gontor atau pimpinan pondoknya melarang santri dan gurunya untuk mengikuti pemilu. Atau, sebaliknya, meminta santri dan gurunya untuk memilih partai atau capres tertentu.

Dalam Pemilu 2004 ini, para santri dan guru bebas mempunyai pendapat dan pilihannya sendiri-sendiri. "Tidak ada instruksi atau wejangan khusus dari atas. Kami memilih sesuai hati nurani sendiri," ujar Alwani, 24 tahun, seorang guru di Gontor. Pada pilpres 20 September 2004, di Desa Gontor, SBY meraih 84% (1.690 suara), sedangkan Megawati mendapat 16% (333 suara).

Gontor juga tidak pernah terlibat aktif dalam partai politik ataupun organisasi kemasyarakatan tertentu. "Sikap kami dari dulu tetap sama: netral!" KH Imam Badri menegaskan. "Godaan politik tentu saja ada, namun kami tak mau merusak citra yang sudah kami bangun puluhan tahun," ia menambahkan.

Berdiri sejak 1926, Gontor mempunyai prinsip: "Berdiri di atas dan untuk semua golongan". Artinya, dalam konteks sosial-politik-agama, Gontor tak mau terkotak-kotak pada satu mazhab, aliran, dalam Islam, ataupun partai tertentu. "Di sini tak ada pemisahan Muhammadiyah, NU, atau yang lain. Apalagi partai tertentu," ujar Imam Badri.

Akibatnya, bukan hal yang mengejutkan jika dalam pelaksanaan Pemilu 2004 ini situasi pondok yang telah melahirkan tokoh-tokoh penting negeri ini --sebut saja KH Idham Cholid, Nurcholis Madjid, Hasyim Muzadi, Emha Ainun Nadjib, Hidayat Nur Wahid, Abu Bakar Ba'asyir, dan Din Syamsuddin-- berlangsung biasa-biasa saja. "Seperti nggak ada apa-apa," kata Alwani, bujang asal Lampung itu.

Sikap "berdiri di atas dan untuk semua golongan" pula yang menyebabkan Gontor sering dikunjungi tokoh-tokoh politik nasional. Tak terhitung berapa banyak. Tapi bisa dikatakan, hampir semua Presiden RI dan capres-capres di Pemilu 2004 ini pernah datang ke Gontor. Syaratnya satu, ujar Imam Badri, yang bersangkutan harus melepas atribut politik partai atau organisasinya.

Harmoko, mantan Menteri Penerangan RI, hampir pernah dilarang masuk Gontor pada tahun 1992 karena mengenakan baju batik bermotif lambang Golkar. Ketika sampai Ponorogo, Harmoko diinformasikan mengenakan baju Golkar kebesarannya. Pimpinan pondok yang tahu hal tersebut segera menghubungi pihak Harmoko, dan memberikan pilihan: melepas baju Golkar atau membatalkan saja kunjungan ke Gontor? Harmoko pun akhirnya mengganti baju "Golkar" kebesarannya.

penulis
Luqman Hakim Arifin, dan Mujib Rahman (Surabaya)
[Pro Demokrasi, Gatra Edisi Khusus Beredar 27 November 2004]

semoga bisa bermanfaat bagi kita...

terima kasih sudah mau membaca.

Share/Bookmark
0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Terbaru


Who am I.....

Foto saya
alhamdulillah, I am just a few people who can feel studying at high school then more of my friend can't feel it....
free counters

Followers

Text Backlink Exchanges Web Link Exchange Text Back Link Exchange Text Backlink Exchanges Text Back Links Exchanges